ABSTRACT
The main objective of this
article is to answer the question on how the Indonesian nationalism during the
pre-Indonesian independence moved from the scale of ethnicity to populist and
nationality. Likewise, the article also tries to answer of why current
Indonesian leaders have to face difficulties to revitalize the spirit of
nationalism as the foundation of developing entrepreneurship for solving the
current multidimensional crisis. In post-independence Indonesian history, it is
clear to be seen that nationalism could be used as a strategic power to fight
against colonial power which challenged the existence of Indonesian. For that
purpose, it is important to implant the value and spirit of nationalism as the
foundation of developing entrepreneuship among Indonesian people to establish
nationalistic entrepreneurs in the framework of the development of small and
medium scale enterprises.
Key words: nationalism, entrepreneurship,
nationalistic entrepreneur.
I. PENDAHULUAN
Memasuki abad XXI bangsa Indonesia masih
dihadapkan pada persoalan krusial pada berbagai segi kehidupan baik sosial,
budaya, ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Tingkat kemiskinan dan
pengangguran menunjukkan tren semakin tinggi (tahun 2005, 15.97 %, 2006, 17.75
%) dunia industri yang begitu didewakan sebagai soko guru pembangunan sepanjang
Orde Baru begitu rapuh, demikian juga fenomena disintegrasi merebak dimana-mana
menjadi tontonan yang semakin jelas
untuk kita saksikan. Banyak ahli berpendapat, bahwa sistem ekonomi kapitalis
yang monopolistik yang telah menggurita di Indonesia itulah penyebab utama
terpuruknya kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini, diperparah dengan kondisi
begitu rapuhnya jiwa nasionalisme kita sebagai bangsa.
Sebenarnya sejak tahun 1970-an telah banyak kritik terhadap sistem ekonomi
kapitalis, karena dipandang tidak mampu mensejahterakan umat manusia secara adil
dibanyak negara di dunia bahkan justru menciptakan keterbelakangan dan
ketergantungan. Kondisi
keterbelakangan antara lain merupakan produk historis hubungan negara kolonial
dengan negara terjajah, negara miskin dengan negara maju. Selain itu adanya polarisasi hubungan
satelit-metropolis merupakan sebab langsung keterbelakangan karena hubungan itu
menyebabkan terbangunnya mekanisme pengambilan surplus oleh negara pusat dari
negara satelit.[1] Akan tetapi penguasa
Indonesia pada periode itu justru ikut “bermain” dalam ekonomi “kapitalis yang
monopolistik” sebagaimana
tercermin dari produk hukum berupa UU No. 5/ tahun 1967 tentang Kehutanan.
Menyertai implementasi UU ini adalah pemberian hak-hak pada pemodal luar negeri
maupun dalam untuk memanfaatkan hutan sebagai areal industri.[2] Untuk itu ada Hak Guna Usaha (HGU), Hak
Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI), UU No.
11/ 1967 tentang Pertambangan. Sebagai implementasi dari UU ini ada Kontrak
Karya Pertambangan dan lain-lain, yang memberi peluang pemodal mengekplorasi
dan mengeksploitasi potensi pertambangan kita, disusul juga UU tentang
Penanaman Modal Asing (PMA), dan sebagainya.
Baru pada
tahun-tahun terakhir pemerintahan Orde Baru, Presiden Suharto mencanangkan
gerakan Kebangkitan Kebangsaan Nasional II (gerakan nasionalisme II). Tampaknya
ada beberapa isu penting dibalik pencanangan gerakan itu. Pertama, secara eksplisit Presiden Suharto ingin menggelorakan
kembali semangat nasionalisme yang menunjukkan fenomena memudar yang
diindikasikan oleh apatisme dan frustasi massa yang meluas sebagai akibat dari
kerapuhan-kerapuhan dalam pembangunan ekonomi dan politik selama kekuasaannya.
Melalui gerakan kebangkitan nasionalisme II itu ia ingin mendapatkan dukungan
lebih kuat dari semua elemen bangsa. Kedua,
secara implisit pencanangan gerakan itu sangat
terkait dengan upaya Presiden Suharto dalam
membangun merek diri (personal branding)
dan merupakan manifestasi dalam upayanya untuk memperkuat legitimasi kekuasaan
yang dimilikinya.
Realitasnya
gerakan itu hanya menyentuh tataran retorika, tidak pernah berhasil menyentuh
pada tataran subtansi dari kehidupan rakyat banyak, sehingga sama sekali tidak
berpengaruh terhadap kebangkitan nasionalisme II. Pertanyaannya adalah mengapa
upaya untuk menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasioalime bangsa
Indonesia, sulit untuk dilakukan. Apakah ada yang salah dari kondisi dan cara
berfikir bangsa Indonesia dewasa ini sehingga sulit diajak melakukan manufer
menggelorakan kembali jiwa dan semangat nasionalisme dalam rangka melakukan
loncatan historis untuk mencapai perkembangan yang spektakuler sebagaimana yang
terjadi pada awal abad XX. Untuk itu tulisan ini akan memaparkan beberapa
permasalahan yang menarik; pertama,
bagimana perkembangan nasionalisme Indonesia pra kemerdekaan yang bergerak dari
skala etnisitas ke arah kerakyatan (populist)
dan kebangsaan (nationality); kedua, mengapa upaya menggelorakan
kembali nasionalisme dalam kehidupan kebangsaan dewasa ini begitu sulit
dilakukan; ketiga, bagaimana
pentingnya nasionalisme sebagai landasan bagi pengembangan entrepreneur.
II. METODE
Dalam mengkaji nasionalisme dan landasan pengembangan
entrepreneur digunakan metode sejarah. Menurut
Garraghan, metode sejarah merupakan seperangkat aturan dan prinsip yang
sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya
secara kritis, dan menyajikan sintesa
[1]Para teoritisi
terutama dari aliran Marxis-Neo Marxis mendasarkan pada proposisi, bahwa
keterbelakangan masyarakat negara-negara Dunia Ketiga sangat terkait dengan
introduksi dan ekspansi sistem kapitalisme yang terintegrasi dalam politik
imperialisme. Antara lain dapat dilihat pada Culley, Lorraine. 1977. Economic Development In
Neo-Marxist Theory. Dalam Hindess, Barry. Sociological
Theories Of The Economy. London:
The Macmillan Press Ltd.
[2]Dalam sistem
ekonomi kapitalisme kontemporer dewasa ini justru menunjukkan beroperasinya
“kapitalisme yang monopolistik” sebagai lawan kompetitif. Konsep tentang
kapitalisme yang monopolistik adalah sebuah sistem ekonomi yang terdiri dari
korporasi “perusahaan raksasa” yang mendunia. Korporasi perusahaan raksasa
dewasa ini dipandang sebagai mesin untuk memaksimalkan keuntungan dan
mengakumulasikan modal minimal yang berimplikasi pada eksploitasi luar biasa
pada sumberdaya alam dan manusia. Baran, P and Sweezy, P. 1970. Monopoly Capital. Harmondsworth: Pelican.
hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.[1]
Sementara itu Gottschalk mendefinisikan metode sejarah sebagai proses menguji
dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.[2] Dalam menerapkan metode sejarah ini ada empat
langkah kegiatan yang dilakukan, yaitu; (1) Heuristik, yaitu pengumpulan sumber
baik berupa sumber primer (arsip, dokumen, dll.) maupun sumber sekunder
(jurnal, buku), (2) Kritik, intern dan ekstern terhadap sumber sejarah yang
diperoleh (penilaian kritis terhadap sumber sejarah yang berguna untuk
memastikan apakah data/sumber yang ditemukan asli/otentik ataukah palsu dan
apakah data tersebut dapat dipercaya/kredibel atau bohong), (3) Interpretasi yang
merupakan analisis dan sintesis terhadap fakta-fakta yang telah ditemukan dari
sumber sejarah yang dalam penelitian sosiologi disebut analisa data, (4) Historiografi,
yaitu kegiatan merekonstruksi peristiwa masa lampau dalam bentuk kisah sejarah
yang harus dituangkan secara tertulis.
III. PEMBAHASAN
3.1. Perkembangan Nasionalisme
Indonesia Periode Pra
Kemerdekaan
Tumbuhnya nasionalisme Indonesia
berkaitan erat dengan sistem politik kolonial Belanda yang memposisikan bangsa
Indonesia sebagai bangsa terjajah yang harus dikuasai dan dieksploitasi segala
sumberdaya yang dimilikinya. Pada waktu itu kriteria etnik dan ras dijadikan
dasar dari struktur hukum dalam masyarakat kolonial Indonesia.[3] Sebagaimana tercermin pada
pasal 109 Peraturan Pemerintah (Regeerings-reglement)
tahun 1854, diadakan pembedaan antara “Orang Eropa dan orang-orang yang
dipersamakan” di satu pihak dan “pribumi” di pihak lain. Pada awalnya kategori
“pribumi” mencakup orang-orang Cina, Arab dan sebagainya, tapi dalam
perkembangannya mereka dipisahkan mejadi kelompok sendiri dengan sebutan “Timur
Asing” yang menduduki kelas kedua setelah kelompok Eropa, sedangkan bangsa
Indonesia ditempatkan pada kelas terendah. Kiranya kondisi struktural ini
secara kultural telah menjadikan bangsa Indonesia mengindap minderwaardigheids-complex, semacam
sindrom rendah diri yang kronis.
Selain itu
pemerintah kolonial selalu berusaha memperkuat hegemoni kekuasaan secara
politik. Dalam hal ini posisi negara dan rakyat cenderung berhadap-hadapan,
sehingga situasi konflik menjadi sesuatu yang laten. Kekuatan kolonial
memperkuat posisi negara kolonial, sedangkan posisi rakyat terjajah semakin
diperlemah. Proses penguatan negara kolonial (strengthening of the colonial state) ini berlangsung sepanjang abad
XIX dan mencapai puncaknya pada perempat akhir abad itu ketika berlangsung
proses birokratisasi pemerintahan di Hindia Belanda/Indonesia.
Proses penguatan negara kolonial itu berjalan seiring
dengan ekspansi ekonomi. Bahkan dapat dikatakan, bahwa penguatan negara
kolonial itu pada dasarnya dalam rangka untuk melakukan ekspansi ekonomi. Suatu
kondisi yang kontradiktif, jika di negeri induk Belanda memberi kebebasan
rakyat dan dunia swasta, sebaliknya di negeri koloni pemerintah kolonial
menerapkan kebijakan yang intervensionis baik dalam politik maupun ekonomi.
Dalam konteks ini daerah koloni dalam posisi sebagai daerah eksploitasi (wingewest) yang harus mendatangkan
keuntungan bagi negeri induk. Jadi fungsi negeri jajahan hanya sebagai sapi
perahan. Melalui masuknya modal swasta Eropa ke Indonesia
hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.[1]
Sementara itu Gottschalk mendefinisikan metode sejarah sebagai proses menguji
dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.[2] Dalam menerapkan metode sejarah ini ada empat
langkah kegiatan yang dilakukan, yaitu; (1) Heuristik, yaitu pengumpulan sumber
baik berupa sumber primer (arsip, dokumen, dll.) maupun sumber sekunder
(jurnal, buku), (2) Kritik, intern dan ekstern terhadap sumber sejarah yang
diperoleh (penilaian kritis terhadap sumber sejarah yang berguna untuk
memastikan apakah data/sumber yang ditemukan asli/otentik ataukah palsu dan
apakah data tersebut dapat dipercaya/kredibel atau bohong), (3) Interpretasi yang
merupakan analisis dan sintesis terhadap fakta-fakta yang telah ditemukan dari
sumber sejarah yang dalam penelitian sosiologi disebut analisa data, (4) Historiografi,
yaitu kegiatan merekonstruksi peristiwa masa lampau dalam bentuk kisah sejarah
yang harus dituangkan secara tertulis.
III. PEMBAHASAN
3.1. Perkembangan Nasionalisme
Indonesia Periode Pra
Kemerdekaan
Tumbuhnya nasionalisme Indonesia
berkaitan erat dengan sistem politik kolonial Belanda yang memposisikan bangsa
Indonesia sebagai bangsa terjajah yang harus dikuasai dan dieksploitasi segala
sumberdaya yang dimilikinya. Pada waktu itu kriteria etnik dan ras dijadikan
dasar dari struktur hukum dalam masyarakat kolonial Indonesia.[3] Sebagaimana tercermin pada
pasal 109 Peraturan Pemerintah (Regeerings-reglement)
tahun 1854, diadakan pembedaan antara “Orang Eropa dan orang-orang yang
dipersamakan” di satu pihak dan “pribumi” di pihak lain. Pada awalnya kategori
“pribumi” mencakup orang-orang Cina, Arab dan sebagainya, tapi dalam
perkembangannya mereka dipisahkan mejadi kelompok sendiri dengan sebutan “Timur
Asing” yang menduduki kelas kedua setelah kelompok Eropa, sedangkan bangsa
Indonesia ditempatkan pada kelas terendah. Kiranya kondisi struktural ini
secara kultural telah menjadikan bangsa Indonesia mengindap minderwaardigheids-complex, semacam
sindrom rendah diri yang kronis.
Selain itu
pemerintah kolonial selalu berusaha memperkuat hegemoni kekuasaan secara
politik. Dalam hal ini posisi negara dan rakyat cenderung berhadap-hadapan,
sehingga situasi konflik menjadi sesuatu yang laten. Kekuatan kolonial
memperkuat posisi negara kolonial, sedangkan posisi rakyat terjajah semakin
diperlemah. Proses penguatan negara kolonial (strengthening of the colonial state) ini berlangsung sepanjang abad
XIX dan mencapai puncaknya pada perempat akhir abad itu ketika berlangsung
proses birokratisasi pemerintahan di Hindia Belanda/Indonesia.
Proses penguatan negara kolonial itu berjalan seiring
dengan ekspansi ekonomi. Bahkan dapat dikatakan, bahwa penguatan negara
kolonial itu pada dasarnya dalam rangka untuk melakukan ekspansi ekonomi. Suatu
kondisi yang kontradiktif, jika di negeri induk Belanda memberi kebebasan
rakyat dan dunia swasta, sebaliknya di negeri koloni pemerintah kolonial
menerapkan kebijakan yang intervensionis baik dalam politik maupun ekonomi.
Dalam konteks ini daerah koloni dalam posisi sebagai daerah eksploitasi (wingewest) yang harus mendatangkan
keuntungan bagi negeri induk. Jadi fungsi negeri jajahan hanya sebagai sapi
perahan. Melalui masuknya modal swasta Eropa ke Indonesia.
berkembang
industri di berbagai sektor baik pertanian, perkebunan maupun pertambangan.
Berkaitan dengan itu lahir kebijakan ekonomi politik yang sangat eksploitatif
seperti tanam paksa, kerja rodi dan lain lain. Oleh karena itu potret
masyarakat Indonesia pada waktu itu berada dalam penderitaan multidimensi,
yaitu secara kultural terhina, secara politik terbelenggu dan secara ekonomi
tereksploitasi.
Demikian juga
program Politik Etis yang diusung pemerintah kolonial pada awal abad XX yang
secara retorik ditujukan untuk “membalas budi” masyarakat jajahan dengan
mensejahterakan, tidak lebih sebagai alat bagi pemerintah kolonial untuk
meneguhkan kembali kekuasaannya atas masyarakat koloni yang seperempat abad
terakhir dalam hisapan pemodal swasta Eropa. Dalam kerangka politik etis ini,
negara yang menentukan konsep kesejahteraan secara ekonomi maupun politik
dengan membangun persepsi, bahwa rakyat sebagai kawulo dan pemerintah sebagai gusti
yang “berwenang” untuk menjadi pangreh
praja (yang memerintah negara). Tidak berlebihan jika bersamaan dengan
pelaksanaan politik etis ini diiringi dengan ekspansi dan penaklukan yang
brutal atas daerah-daerah koloni antara lain seperti Aceh, Lombok, Bone, Seram
dan lain lain.[1]
Menghadapi penderitaan multidimensi tersebut, bangsa
Indonesia dari perbagai daerah koloni selalu melakukan perlawanan (resistens) dan resistensi ini telah
menjadi bagian yang integral dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Untuk
itu sepanjang abad XIX banyak dijumpai aneka macam bentuk perjungan bangsa
Indonesia untuk membebaskan belenggu kolonial, perlakukan yang diskriminatif
maupun perampasan kemakmuran baik dalam skala kecil maupun skala besar seperti
perang Aceh, perang Padri, perang Diponegoro, perang Pattimura. Berbagai
perjuangan itu jelas masih bersifat lokal kedaerahan dan nasionalisme belum terbentuk secara konkrit
Nasionalisme
Indonesia mulai muncul dalam bentuk yang konkrit pada abad XX di mana
nasionalisme muncul sebagai bagian dari proses berlangsungnya wacana
intelektual sebagai konsekuensi logis dari perkembangan pendidikan moderen
sejak akhir abad XIX. Pada tahap awal, benih-benih nasionalisme masih banyak
diwarnai oleh perasaan etnisitas atau kesukuan yang tinggi. Budi Utomo sendiri
yang dianggap sebagai organisasi pergerakan nasional yang pertama di Idonesia,
pada awalnya lebih memiliki perhatian pada etnik Jawa (dan Madura). Demikian
juga para pemuda, yang secara umum memiliki semangat pembaharuan dan
revolusioner, pada waktu itu juga masih terkotak-kotak dalam organisasi yang
berbasis etnik dan kedaerahan serta ikatan primordial seperti Jong Java, Jong
Celebes, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamiten Bond, dan sebagainya. Perasaan kesukuan
dan kedaerahan serta keagamaan ini pula yang menjadi salah satu penyebab
gagalnya Konggres Pemuda I.[1] Prasangka kesukuan masih
cukup mewarnai wacana interaksi sosial diantara kelompok pada waktu itu.
Barangkali apa yang dibayangkan oleh sebagian dari pemuda pada waktu itu bukan nation-state sebagaimana yang kemudian
terbentuk, tetapi lebih mendekati kepada konsep ethno-nation yaitu kebangsaan yang dibangun atas kesamaan etnik.[2]
Pada tahap perkembangan berikutnya, nasionalisme
dengan corak kerakyatan dan kebangsaan cukup menonjol. Corak kerakyatan dapat
dijumpai pada organisasi Sarekat Islam (SI). Pada awalnya SI merupakan suatu
gerakan kaum menengah Islam yang menentang dominasi kaum pedagang Cina. Namun
demikian dalam proses selanjutnya SI berkembang menjadi gerakan kerakyatan yang
membela kaum pribumi yang mayoritas Islam dari penindasan kolonialisme. Proses
radikalisasi SI terjadi sejalan dengan interaksi ideologis antara Islamisme
dan Komunisme.
Banyak tokoh SI yang memiliki simpati dengan metode perjuangan ala komunis
menjadi tokoh-tokoh kerakyatan yang radikal bukan hanya dalam melawan
kolonialisme tetapi juga feodalisme yang juga dipandang memiliki sifat menindas
rakyat.[1]
Sementara itu
nasionalisme yang bercorak kebangsaaan antara lain dapat dijumpai pada
organisasi Indische Partiij dan PNI. Munculnya kesadaran “kebangsaan Indonesia”
tentu berkaitan dengan semakin banyaknya kaum terpelajar yang lahir dari
“pendidikan kaum tertindas”. Dengan kemampuan dan kesempatan yang diperolehnya,
mereka bisa mengikuti perkembangan kapitalisme dan kolonialisme yang sedang
mengalami kekalutan. Mereka melihat bahwa nasionalisme yang akan melahirkan
negara bangsalah yang akan mampu menggantikan kedudukan dan peran negara
kolonial.
Nasionalisme Indonesia periode pra kemerdekaan
dapat dikatakan telah berhasil dalam mengantarkan kepada proses formasi bangsa
Indonesia yang berpuncak pada Proklamsi 17 Agustus 1945. Hal itu karena
nasionalisme benar-benar menjadi jiwa dan semangat dari segenap derap
perjuangan bangsa Indonesia yang diekspresikan melalui berbagai organisasi
pergerakan nasional. Organisasi-organisasi pergerakan nasional pada waktu itu
betul-betul aktual sesuai dengan kondisi masyarakat dan para tokoh memiliki
kemandirian dan kemampuan mengartikulasikan dan “merealisasikan” cita-cita
masyarakatnya.
Ir.
Soekarno sebagai salah seorang founding
father dan Presiden pertama negara RI, selama masa kekuasaannya ideologi
nasionalisme diarahkan untuk mendesain suatu nation state dengan fundamen nation
and character building. Kebijakan-kebijakannya sangat nasionalistik dan
berkarakter untuk membangun kemandirian bangsa dalam rangka mewujudkan
cita-cita kemerdekaan seperti yang diamanatkan dalam bagian Pembukaan UUD 1945.
Hal tersebut juga tercermin dari perlawanannya yang gigih terhadap
kolonialisme, kapitalisme dan feodalisme. Secara garis besar dapat dikatakan,
bahwa nasionalisme yang dibangun dan digelorakan Soekarno berhasil memadukan
relasi masyarakat-negara ke dalam ikatan solidaritas sosial yang berhasil
meleburkan sekat-sekat primordialisme sebagai penggerak persatuan bangsa.
Dalam pandangan Soekarno, nasionalisme adalah dasar
untuk membangun kemandirian bangsa dan kemandian bangsa adalah modal utama
untuk mewujudkan cita-cita kemedekaan, yaitu bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis.
Program-program yang diarahkan untuk itu antara lain “Berdikari” (berdiri di
atas kaki sendiri) yang berimplikasi pada peningkatan produk bangsa sendiri dan
pembatasan produk impor. Program “Benteng” untuk menghidupi dan melindungi
industri pribumi dari tekanan kekuatan non pribumi. Nasionalisasi
perusahaan-perusahaan asing. Kemandirian tidak terbatas secara ekonomi, tetapi
juga politik. Oleh karena itu pada era Soekarno nasionalisme dijadikan dasar
untuk membangun dan memperkokoh integrasi politik nasional sebagaimana
tercermin dalam menumpas gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII,
PRRI/PERMESTA, RMS, OPM,
Bahkan dari hal
ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang diperhitungkan di negara-negara bekas
koloni di kawasan Asia Afrika (AA), karena mampu tampil sebagai pelopor dalam
gerakan AA, gerakan Non Blok, Nefo, dan lain- lain.
Memasuki era Soeharto bahkan hingga dewasa ini,
nasionalisme dan kemandirian bangsa seakan “tergadaikan”, tidak jelas bentuk
dan fungsinya, sehingga tampak jauh dari cita-cita proklamasi kemerdekaan
Indonesia. Selama orde baru kebijakan penguasa lebih diletakkan pada ideologi “developmentalism” yang bergerak ke arah
formula administrative-state, sehingga
lahirlah monopoli negara di satu sisi dan pemisahan negara dan masyarakat pada
sisi yang lain. Kebijakan pembangunan sangat dipengaruhi oleh
pemikiran-pemikiran ekonomi kelompok ekonom
yang dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro yang bekerja dengan tim
penasehat asing (Amerika dan Badan Internasional atau Transnasional
Corporation). Dengan kondisi yang demikian, Indonesia telah menjerumuskan
diri dalam pusaran kekuatan ekonomi kapitalis dan ikut “bermain” dalam ekonomi
“kapitalis yang monopolistik”. Dalam konteks yang demikian tentu sulit bagi
kita untuk dapat menemukan aktualisasi dari jiwa dan semangat nasionalisme dan
mustahil kita dapat memiliki kemandirian sebagai bangsa.
Tidak berlebihan
jika kemudian kita simpulkan, bahwa nasionalisme dan kemandirian bangsa
Indonesia hingga dewasa ini sangat paradoks dengan cita-cita kemerdekaan
Indonesia. Hal ini mengingat Indonesia tidak saja terjerumus dan kemudian
terjerat dalam skenario ekonomi “kapitalis yang monopolistik”, melainkan telah
sangat pandai ikut “bermain”. Sebagai contoh adalah berkuasanya korporasi
asing seperti Caltex, Freeport, Newmont, dan lain-lain. untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam Indonesia. Berkuasanya korporasi-korporasi asing di Indonesia
yang dalam banyak kasus justru menimbulkan ketergantungan, kemiskinan dan
kehancuran masyarakat lokal yang menjadi bagian integral dari masyarakat
nasional (bangsa Indonesia), jelas merupakan fakta bahwa kita sebagai bangsa
tidak lagi cukup kuat memiliki nasionalisme dan kemandirian. Ini adalah fakta
aktual yang harus kita hadapi dan sikapi secara kritis sebagai anak bangsa.
Sebagaimana
kita ketahui Freeport adalah korporasi milik Amerika Serikat yang telah
mengangkangi tambang emas terbesar dunia di Papua dengan cadangan terukur lebih
dari 3.046 juta ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton perak. Selama 30
tahun lebih dan belum lama diperpanjang lagi Freeport telah mengeksploitasi
kekayaan itu dengan pendapatan sekitar 1.5 miliar $ AS/tahun. Sebagai
kompensasinya Freeport hanya memberi bagi hasil (profit sharing) pada Indonesia 10-13 % dari pendapat bersih di luar
pajak. Oleh karena itu kita dapat
menyaksikan apa yang terjadi di Papua, 60 % rakyat Papua tidak memiliki
akses pendidikan, 35,5 % tidak memiliki akses fasilitas kesehatan, dan lebih
dari 70 % hidup tanpa air bersih. Data HDI (Human
Development Index) 2004 menunjukkan, Papua menempati urutan ke-212
(terutama mereka yang tinggal di daerah Mimika, Paniai, dan Puncak Jaya) dari
300 lebih kabupaten yang ada di Indonesia. Belum lagi kerusakan ekologi yang
sangat parah yang tidak mungkin dapat diperbaiki dalam beberapa generasi.
3.3. Nasionalisme Sebagai Landasan Pengembangan Jiwa
Entrepreneur
Bertitik tolak dari fakta aktual, bahwa kita
sebagai bangsa berada dalam kondisi krisis multidimensi, maka menjadi keharusan
untuk menggelorakan kembali nasionalisme terutama di kalangan mahasiswa yang
merupakan golongan intelektual kader penerus pemimpin bangsa. Dalam kehidupan
ekonomi, secara nyata kita sebagai bangsa tidak lagi memiliki kemandirian
apalagi kedaulatan, sehingga krisis ekonomi yang berlangsung tidak ada prospek
kapan akan berakhir. Salah satu faktor yang memperparah krisis ekonomi yang
berkepanjangan di Indonesia adalah banyaknya para pebisnis atau entrepreneur
Indonesia yang kurang bahkan tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme.
Mereka kurang memiliki rasa “handarbeni” keberadaan bangsa Indonesia dan
keutuhan tanah air Indonesia. Oleh karena itu banyak pengusaha melarikan
uangnya ke luar negeri, melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan tindakan
bisnis lain yang merugikan negara dan masyarakat termasuk pembalakan hutan
secara liar yang terjadi akhir-akhir ini dalam kasus Edelin Lis.
Sesungguhnya upaya-upaya untuk membangun “ekonomi
nasionalistik”, artinya pembangunan ekonomi yang didasari atas semangat
kebangsaan dan cinta tanah air sudah diupayakan oleh pemerintah republik
Indonesia segera setelah kemerdekaan. Pada waktu itu, dalam ranah entrepreneurship,
masih ada pembedaan tajam antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Kolonialisme telah mewariskan kehancuran jiwa entrepreneurship kaum pribumi dan
sebaliknya memberikan kesempatan yang luas kepada kaum non pribumi. Akibatnya
pengusaha pribumi tidak memiliki banyak pengalaman yang signifikan dalam
berbisnis. Demikian juga para ekonomom pribumi juga tidak memiliki pengalaman
mengatur perekonomian negara. Apa yang terjadi kemudian adalah masuknya
korporasi-korporasi asing yang kemudian diintegrasikan dalam kebijakan ekonomi
politik nasional yang kurang berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
Terjadilah praktek-praktek KKN antara penguasa dan pengusaha. Pada akhirnya
dominasi ekonomi Indonesia merdeka jatuh ke tangan pengusaha non-pribumi.
Program “perlindungan” pemerinah seperti Program Benteng akhirnya hanya menjadi
selubung bagi praktek kolusi yang terkenal dengan “Ali-Baba”.
Saat ini kita masih mewarisi
kondisi sebagaimana yang digambarkan di atas, meskipun dikotomi antara
pengusaha pribumi dan non-pribumi sudah semakin meluntur. Persoalannya adalah
bahwa saat ini nasionalisme dan patriotisme, tampak sudah tidak lagi menjadi
jiwa para entrepreneur. Apalagi saat ini terjadi kemerosotan perasaan
nasionalisme di berbagai kalangan dalam masyarakat. Dengan demikian penanaman
rasa nasionalisme dan patriotisme di kalangan entrepreneur sangat diperlukan.
Dengan nasionalisme, karya usaha anak bangsa akan lebih bermakna, dan harapan
untuk kembali pada upaya menggapai cita-cita kemerdekaan bisa dicapai. Jika
nasionalisme tidak dijadikan landasan bagi pengembangan jiwa entrepreneur, kita
sebagai bangsa akan sulit untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu sebagai
bangsa yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur dengan cara demokratis.
V. SIMPULAN
Persoalan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia
saat ini adalah semakin tergerusnya jiwa dan semangat nasionalisme yang
kemudian berimplikasi pada rapuhnya sendi-sendi berbagai segi kehidupan baik
sosial, budaya, ekonomi politik dan pertahanan keamanan. Padahal jika mau
belajar dari sejarah, sudah menjadi fakta otentik bahwa nasionalisme dapat
menjadi senjata pamungkas dalam menghadapi kekuatan yang bertujuan mencerai
beraikan potensi bangsa baik ketika Indonesia masih dalam penjajahan bangsa
asing (periode kolonial hingga masa pendudukan Jepang) maupun setelah merdeka
ketika dalam ancaman gerakan separatism (DI/TII, PRRI/PERMESTA, RMS, OPM, dan
sebagainya). Juga ketika melancarkan program “Berdikari” yang berimplikasi pada
peningkatan produk bangsa sendiri dan pembatasan produk impor, dan program “Benteng”
yang mampu menghidupi dan melindungi industri pribumi dari tekanan kekuatan non
pribumi, serta program nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Oleh karena itu dalam menghadapi
persoalan-persoalan akut dalam semua aspek kehidupan yang dihadapi bangsa
Indonesia dewasa ini, kiranya masih sangat diperlukan nasionalisme dalam bentuk
dan corak yang sesuai dengan kompleksitas permasalahan yang ada.
Terlebih dengan adanya
kecenderungan nasionalisme dan kemandirian bangsa seakan “tergadaikan”, tidak
jelas bentuk dan fungsinya, sehingga tampak jauh dari cita-cita proklamasi
kemerdekaan Indonesia. Fenomena dalam kehidupan ekonomi jelas secara nyata tampak
kita sebagai bangsa tidak lagi memiliki kemandirian apalagi kedaulatan,
sehingga krisis ekonomi yang berlangsung tidak ada prospek kapan akan berakhir.
Kiranya salah satu faktor yang memperparah krisis ekonomi yang berkepanjangan
di Indonesia adalah banyaknya para pebisnis atau entrepreneur Indonesia yang
kurang bahkan tidak memiliki jiwa nasionalisme dan patriotisme. Mereka kurang
memiliki rasa “handarbeni” eksistensi bangsa Indonesia dan keutuhan tanah air
Indonesia. Oleh karena itu banyak pengusaha melarikan uangnya ke luar negeri,
melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, dan tindakan bisnis lain yang merugikan
negara dan masyarakat luas.
Daftar Pustaka
Baran, P and Sweezy, P. 1970. Monopoly Capital. Harmondsworth: Pelican.
Culley, Lorraine. 1977. Economic Development In
Neo-Marxist Theory. Dalam Hindess, Barry. Sociological
Theories Of The Economy. London:
The Macmillan Press Ltd.
Drake, C. Drake. 1989. National
Integration in Indonesia: Patters and Policies. Honolulu: University of
Hawaii Press.
Houben, V.J.H. 2002. Java in the 19 th
Century: Consolidation of a Territorial State. Dalam Howard Dick dkk. The Emergence of A National Economy: An
Economic History of Indonesia 1800-2000. Leiden: KITLV Press.
Kohn, Hans.1961. Nasionalisme. Arti Dan Sejarahnya. Djakarta: Pustaka Sardjana.
Lindblad, J. Th. 2002. The Outer
Islands in the 19 th Century: Contest for Periphery. Dalam Howard Dick dkk. The Emergence of A National Economy: An
Economic History of Indonesia 1800-2000. Leiden: KITLV Press.
Legge, J.D. 1977. Indonesia. Sydney: Prentice Hall.
Niel, Robert van. 1984. The Emergence of the Modern Indonesian Elite.
Dordrecht: Foris Publication.
Subijanto, Bijah. 2006. Wawasan Kebangsaan Konsepsi dan Strategi
Pemantapannya. Jakarta: Cet. Makalah Lemhanas.
Walcott, A.S.1914. Java and her neighbors: A travele’s note in
Java, Celebes, the Moluccas and Sumatra. New York and London: Knickerbocker
Press.
Y. Andaya, Leonard. 1996. Ethnonation,
nation-state and regionalism in Southeast Asia. In Proceeding of the International Symposium Southeast Asia: Global Area
Studies for the 21 th Century. Japan: Kyoto University.
Oleh:
Yety Rochwulaningsih
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Diponegoro