Photobucket
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Indonesia, Salah Satu Pusat Peradaban Dunia



INDONESIAN POWER


Dalam perbincangan tentang peradaban tua dunia, Asia Tenggara hampir tidak pernah disebut. Kebanyakan pelajaran sejarah sekolah dan perguruan tinggi serta wacana umum selalu menyebut wilayah seperti Mesopotamia, Mesir, Sungai Indus, Tiongkok, dan Yunani sebagai cikal bakal peradaban dunia. Padahal dalam khasanah penemuan arkeologi Indonesia, banyak ditemukan aneka penemuan artefak prasejarah.
Ditemukannya kerangka manusia yang berumur jutaan tahun, seperti jenis Meganthropus paleojavanicus, Pithecantropus Erectus, dan berbagai macam homo, seperti Homo Soloensis dan Homo Wajakensis, kurang membangun teori asal usul peradaban. Sejarah selalu mencatat bahwa induk peradaban manusia modern itu berasal dari Mesopotamia, lembah Sungai Indus, China, Mesir, dan Yunani karena wilayah ini menyimpan banyak artefak dan peninggalan tertulis.
Namun, kini, tampaknya orang mulai berpikir ulang sejak kehadiran buku Atlantis karangan Arysio Nunes dos Santos yang menyebut Atlantis, yang tenggelam dengan peradaban tingginya, ada di Asia Tenggara. Buku  kini diperkuat dengan Eden In The East karangan Profesor Stephen Oppenheimer, seorang mahaguru dari Universitas Oxford Inggris. Dalam buku Eden In The East, Oppenheimer menyimpulkan bahwa Indonesia merupakan pusat peradaban dunia.
Artinya nenek moyang bangsa-bangsa di dunia ini atau induk peradaban modern sekarang ini berasal dari Indonesia dan menyebar ke seluruh penjuru Bumi. Dalam teorinya, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan dulu menjadi satu kesatuan dengan sebutan Sundaland. Karena mengalami banjir berkali-kali akibat melelehnya es di Kutub, wilayah ini terpisah oleh lautan.
Dalam sebuah pertemuan di LIPI, Oppenheimer mengatakan teorinya dibangun berdasarkan kajian kedokteran (DNA), geologi, linguistik, antropologi, arkeologi, dan folklore. Ilmu-ilmu ini, terutama geologi, mengemukakan alasan adanya Sundaland yang dulu bersatu. Yang pertama dikemukakan adalah naiknya permukaan air laut sebanyak tiga kali di wilayah ini antara 14.500 hingga 7.200 tahun (sebelum Masehi), yang menenggelamkan Paparan Sunda (Sundaland).
Teori ini merupakan teori umum yang sering dikemukakan para geolog. “Agak sulit untuk melihat mengapa ada beberapa penentangan terhadap konsep ini, yang sebenarnya sudah diterima oleh para geolog dan para sarjana lainnya sejak lama,” katanya. Dari kajian genetika, Oppenheimer menjelaskan dari Paparan Sunda yang terpecah ini, menyebar kehidupan menyeberang laut.
Penyebaran bukan hanya dekat di wilayah ini, namun juga ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia hingga ke Euroasia. Dalam pandangan Oppenheimer, orang Sumeria peletak dasar peradaban di Mesopotamia berasal dari Asia Tenggara. Kesamaan benda-benda Neolitik sekitar 7.500 tahun lalu menjadi salah satu bukti. Ciri fisik orang Sumeria yang bermuka lebar dan wajah tipikal orientalis menjadi bukti lainnya.
Teori genetikanya menyebutkan 90 persen penduduk Paparan Sunda telah ada di sana sejak 5.000 hingga 50.000 tahun lalu, bahkan beberapa di antaranya sebelum zaman es mencair dan menenggelamkan wilayah ini. “Derajat keberlanjutan genetik itu membantah pandangan ortodoks bahwa para petani padi Taiwan berbahasa Austronesia secara esensial menggantikan penduduk terdahulu dari Paparan Sunda 3.500 tahun yang lalu,” katanya.
Menurut terori sebelumnya, Sundaland belajar pertanian, peternakan dan mencari ikan dari orang-orang Taiwan yang berbahasa Austronesia sekitar 3.500 tahun yang lalu. Padahal menurut Oppenheimer, sejak ribuan tahun sebelumnya mereka telah memiliki nilai-nilai neolitik.
Oppenheimer mengatakan mereka sejak ribuan tahun lalu telah memiliki keahlian sebagai nelayan. Dari kajian linguistik yang mempelajari bahasa asli dari Sundaland, yaitu bahasa Austronesia, istilah pelayaran berasal dari Asia Tenggara, bukan dari Taiwan. Endapan Rawa Menurut Eko Yulianto, ahli geologi LIPI, apa yang dikemukakan oleh Oppenheimer memiliki bukti yang kuat dari teori geologi. Pengeborannya yang dilakukan di Laut Jawa pada kedalaman 9,7 meter menemukan adanya endapan rawa.
Diperkirakan umur endapan ini 6.000 tahun yang lalu. Di laut sebelah selatan Pulau Jawa, ia menemukan adanya fosil serbuk sari yang merupakan sisa dari tanaman jenis rumput-rumputan (graminae). Ia menduga bisa jadi serbuk sari ini merupakan berasal dari padi atau tumbuhan sejenis. Lebih lanjut, ia mengatakan teori Sundaland benar adanya karena dari kedalaman laut di wilayah terlalu dangkal jika dibandingkan dengan kedalaman laut Sulawesi, Laut Banda, Laut Aru, dan lainnya.
Kedalaman lautan di bekas wilayah Sundaland ini hanya berkisar 10-30 meter. Di daratan, teori tentang manusia purba dengan peradabannya yang tinggi bisa ditemukan di Gua Pawon di Bandung. Dari penenyam perkakas dan bahan bakunya sangat beragam, mulai dari batuan obsidian yang hanya bisa ditemukan di Nagrek, Garut atau Sukabumi.
Serta gigi ikan hiu yang hanya bisa ditemukan di laut sekitar Subang. Ini artinya mobilitas penghuni Gua Pawon sudah tinggi dan peradabannya sudah sangat maju. Dibandingkan dengan teor i Atlantis, menurut Eko, Eden In The East lebih ilmiah. ”Dibandingkan dengan yang ditulis Santos dalam Atlantis apa yang dikemukakan Oppenheimer lebih masuk akal,” ujarnya. Pasalnya, selama ini Atlantis banyak menautkan teorinya dengan bukti mitologis, dan beberapa bukti yang kurang ilmiah lainnya.
Apalagi Santos belum pernah datang ke Indonesia dalam membangun teorinya dan lebih berdasarkan studi pustaka. Hary Harjono, Deputi Ilmu Pengetahuan Kebumian LIPI, mengatakan teori Oppenheimer, meski mendapat banyak dukungan, perlu pembuktian lebih lanjut. Dengan berbagai teknologi yang ada sekarang, bermacam hal yang dikemukakan Oppenheimer dapat dibuktikan.
“Dengan melacak DNA dan teknologi kelautan dan berbagai macam disiplin teori dalam Eden In The East dan Atlantis, dapat dibuktikan,” jelasnya. Menurut Jimly Asshiddiqie yang sejak lama sangat menginginkan buku Eden In The East diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, jika teori yang dibangun oleh Profesor Oppenheimer benar, hal ini akan membalikkan seluruh asal usul peradaban. “Sekarang orang Jepang tidak lagi menyebut dirinya saudara tua. Kita yang saudara tua,” pungkasnya

Sumber ;
http://www.metasains.com