Photobucket
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sejarah sastra Indonesia

Salah satu alasan dikemukakan oleh mereka yang menuduh ada krisis sastra adalah kurangnya jumlah buku yang terbit. Roman-roman karangan Pramoedya Ananta Toer di tahun 1950-1953 yang selalu muncul dengan judul baru dan tebal-tebal itu karangannya pada tahun sebelum 1950 di dalam penjara. (Dikemukakan oleh para penuduh)
Sejak tahun 1953, Balai Pustaka (penerbit utama buku buku-buku sastra) kedudukannya tidak menentu. Penerbit yang bernaung di bawah PP dan K itu berkali-kali mengalami perubahan status, ditambah penempatan pimpinan pada yang bukan ahli, juga tidak mencukupinya faktor anggaran produksinya.
Juga penerbit pustaka rakyat yang menjadi penerbit nasional juga mengalami kesukaran. Begitu juga penerbit lain seperti Pembangunan, Tinta Mas, dan lain-lain. Dengan itu maka aktivitas sastra hanya dalam majalah-majalah saja seperti Gelanggang/Siasat, Mimbar Indonesia, Zenith, Pudjangga Baru, dan lain-lain. Karena sifatnya majalah maka yang dimuat juga pendek-pendek hanya berupa sajak, cerpen, sesuai yang dibutuhkan majalah.
Keadaan itu yang menyebabkan lahirnya istilah “Sastra Majalah.” istilah ini pertama kali dilansir oleh Nugroho Notosusanto dalam tulisannya “situasi 1954” dimuat dalam majalah Kompas yang dipimpinnya.
Pada masa itu juga ramai dipersoalkan bahwa ada angkatan baru sesudah angkatan Chairil Anwar (45). Pada simposium sastra yang bergelar oleh Fakultas Sastra UI tahun 1955, juga pada simposium-simposium di Solo, Yogyakarta dan kota-kota lain ada kecenderungan pemikiran yang beranggapan telah lahir angkatan baru sesudah angkatan Chairil Anwar yang tidak tepat lagi digolongkan dengan angkatan sebelumnya (45).
Dalam simposium sastra yang diselenggarakan di Jakarta tahun 1960, dicoba untuk mencari ciri yang membedakan angkatan baru dengan angkatan ’45. Angkatan terbaru mempunyai budaya sikap menggabungkan dua sikap mengenai konsepsi kebudayaan Indonesia, yaitu :
1) Sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan nasional Indonesia itu merupakan persatuan dari puncak-puncak kebudayaan daerah.
2) Sikap yang berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia ialah mendunia dan mempersatukan kebudayaan daerah.
Maka sikap sintesisnya : Kebudayaan Nasional Indonesia akan berkembang berdasarkan kenyataan-kenyataan dalam masyrakat Indonesia masa kini, yaitu adanya kebudayaan daerah dan adanya pengaruh dari luar.
Pada tahun 1963, di Fakultas Sastra UI diadakan seminar kesusastraan yang ditokohi oleh Nugroho Notosusanto yang ceramah berjudul “Soal Periodesasi dalam Sastra Indonesia” mengemukakan bahwa memang ada periode baru sesudah ‘50 tahun yang tidak bisa lagi dimasukkan ke dalam periode sebelumnya. Pada periode 1950, para pengarang yang aktif mulai menulis ialah mereka yang telah mempunyai “sebuah tradisi Indonesia sebagai titik Tolak.”
Termasuk kepada pengarang dari periode ini, diantaranya :
- Nugroho Notosusanto (1930)
- M. Hussyin Umar (1931)
- Toto S. Bachtiar (1929)
- W. S. Hendra (1935)
- Nh. Dini (1936)
- Subagio Sastrowardojo (1924)
- Trisnoyuwono (1926)
- S. M. Ardan (1932)
- Rijono Pratikto (1934)
- A. A. Navis (1924)
- Sukanto S. A. (1930)
- Iwan Simatupang (1928)
- Matinggo Boesje (1936)
- Taufiq Ismail (1937)
- Kirdjomuljo (1930)
- Alex A’Xandre Leo (1934)
- Ali Audah (1924)
- M. Saribi Afni (1938)
- Surachman R. M. (1936)
- Ramadhan K. H. (1927)
- Jusach Ananda (1930)
- Amyus N. n (1926-1968)
- Terbit Sembiring (1934)
- Widia Lusia Zulia
- Basuki Goenawan
- Dan lain-lain


NUGROHO NOTOSUSANTO

Nugroho Notosusanto adalah seorang sarjana ilmu sejarah. Ia dilahirkan di Rembang, 15 Juli 1930. Nugroho Notosusanto terkenal sebagai penulis prosa, terutama pengarang cerpen. Tetapi sesungguhnya ia pertama-tama menulis sajak-sajak yang sebagian besar diantaranya dimuat dalam majalah yang dipimpinnya, “KOMPAS”. Tidak mendapat kepuasan dalam menulis sajak, ia lalu mengkhususkan diri sebagai pengarang prosa, terutama cerpen dan esai.
Sampai sekarang ia telah menerbitkan tiga buah kumpulan cerpen.
1. Hujan Kepagian (1958)
Memuat tentang perjuangan kemerdekaaan nasional yang dilakukan oleh pemuda dan pelajar.
2. Tiga Kota (1959)
Memuat cerpen yang ditulis karena inspirasi dari tiga kota, diantaranya: Rembang, Yogyakarta, Jakarta yang dimana kota tersebut merupakan setting tempat yang mempunyai makna.
3. Rasa Sajange (1963)
Yang antara lain memuat cerpennya yang paling berhasil yang berjudul “Jembatan”.
Setelah menerbitkan ketiga buku itu, Nugroho lebih mencurahkan perhatiannya kepada penulisan-penulisan ilmiah dan sejarah, ia menjadi kepala pusat sejarah angkatan bersenjata. Dan sejak 1968 ia diangkat menjadi Kolonel Tituler. Kemudian brigadir jenderal diantaranya para pengarang semasanya, Nugroho dikenal sebagai penulis esai. Ketika para pengarang lain hanya menulis cerpen dan sajak, Nugroholah salah seorang diantara yang muda-muda ketika itu yang banyak menulis esai yang mencoba menyelami situasi zamannya. Terutama tentang sastra dan kebudayaan. Ia merupakan salah seorang pengambil inisiatif untuk mengadakan simposium sastra Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jakarta tahun 1953 yang kemudian dijadikan tradisi tahunan sampai dengan tahun 1958. ia sendiri pada simposium tahun 1957 menjadi salah seorang pemrasaran yang mengemukakan prasaran tentang cerita pendek.


SASTRA DAN POLITIK

 Merupakan suatu kenyataan sejarah, bahwa sejak awal pertumbuhanya sastrawan-sastrawan Indonesia menunjukan perhatian yang serius kepada politik. Para pengarang zaman sebelum perang, banyak yang aktif dalam kegiatan-kegiatan kebangsaan pada masa itu. Bahkan, ada diantaranva yang kemudian lebih terkenal sebagai politikus dari pada pengarang, seperti Moh. Yamin dan Rostam Efendi. Demikian juga para pengarang pujangga baru ialah orang- orang yang aktif dalam dunia pergerakan nasional.
 Pada awal tahun lima puluh, terjadi polemik yang seru juga antara orang-orang yang membela hak hidup angkatan ’45 dengan orang-orang yang mengatakan ”Angkatan ’45 sudah mampus” yang berpangkal pada sikap politik. Pihak yang berpaham realisme sosialis, yaitu paham yang menjadi filsafat-seni kaum komunitas, aktif mengadakan polemik. Penganut paham realisme sosialis yang paling keras teriaknya ialah A.S Dharta yang sering juga mengunakan nama samaran Yoga Swara, Klara Akustia, dan lain-lain. Dipihak lain berdiri H.B. Jassin dan kawan- kawannya. Sementara itu polemik semacam itu terdiri pulau di Medan, antara Bakri Siregar yang menganut paham realisme sosialis di suatu pihak dengan Aoh K. Hadimaja (yang ketika itu di Medan) pada pihak yang lain. Sekitar tahun 1953 terjadi pula polemik semacam itu antara Joebar Ajoeb yang menganut paham realisme sosialis dengan Harijadi S. Hartowardojo di pihak yang lain, dalam ruang gelangan siasat.
 Dan peristiwa- peristiwa itu tampak bahwa polemik semacam itu senantiasa terjadi antara orang-orang yang berpaham realisme-sosialis dengan orang-orang dari lingkungan gelanggang seniman merdeka. Pada tahun 1950 berdirilah di Jakarta lembaga kebudayaan rakyat yang kemudian lebih terkenal Lekra. Sebagai sekertaris jendralnya yang pertama bertindak A.S. Dharta. Rupanya pada mulanya Lekra ini belum lagi merupakan orang kebudayaan dalam PKI.
 Tahun 1959, Soekarno yang ketika itu menjadi Presiden, mendekritkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi dan menganjurkan ’Manifesto Poiitik’ (yang kemudian menjadi terkenal dengan singkatan Manipol) sebagai dasar haluan negara Manipol memberikan ruang gerak kepada PKI untuk sedikit demi sedikit merebut tempat-tempat dan posisi-posisi penting buat merebut kekuasaan. Apalagi ketika kemudian ajaran NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan Komunis) dijadikan pola perbandingan kekuatan dalam lembaga-lembaga resmi dan tidak resmi, PKI kian mendapat angin.
 Dalam lapangan sastra satu demi satu pengarang yang mempunyai paham berbeda dengan mereka dihantam dan dimusnahkan. Suatu takdir Alisjabana yang polaitis menjadi anggota partai yang dibubarkan (PSI) dan Hamka (Masjumi) menjadi sasarannya. Buku-buku mereka dituntut supaya dilarang dipergunakan, baik di sekolah-sekolah maupun di masyarakat. Metode yang sama kemudian mereka gunakan juga ketika menghantam para pengarang penanda tanganan Manifes Kebudayaan. Pengarang-pengarang, seniman-seniman, dan budayawan diteror untuk bergabung kepada Lekra atau hancur ditumpasnya. Mereka mempraktekkan teori untuk membagi orang menjadi kawan atau menjadi lawan.
 Teror intensif yang mereka lakukan itu, telah menyebabkan banyak budayawan seniman dan pengarang, lalu menggabungkan diri kepada Lekra karena para seniman itu agaknya berpendapat kalau tidak begitu, mereka tidak akan selamat. Sebagian lagi yang tetap memegang prinsip menolak komunisme, lalu menggabungkan diri kepada organisasi-organisasi kebudayaan yang bernaung pada partai-partai NASAKOM yang ada pada masa itu. Tahun 1959 PNI membentuk LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang untuk pertama kali diketahui oleh Sitor Situmorang. NU membentuk LESBUMI (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) dengan ketua Ismar ismail, Asrul Sani, dan lain-lain. begitu pula dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Indonesia (Partindo), dan lain-lain.
 Dengan berbagai akal dan cara para budayawan, seniman dan pengarang Indonesia dipaksa untuk masuk salah satu kandang, kalau tidak, mereka akan menjadi bulan-bulanan orang-orang Lekra dan PKI. Organisasi-organisasi mahasiswa dan pelajar yang hendak berdiri sendiri (independen), terus-terusan diteror dan difitnahnya, seperti terjadi dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan Pelajar Islam Indonesia (PII) .


DAFTAR PUSTAKA

Ajib Rosidi. 1986. Ikhtiar Sejarah Sastra Indonesia: Sastra Majalah, Nugroho Notosusanto, Sastra dan Politik. Bandung: Percetakan Bina Cipta.

Sumber google.